Asimetri Informasi
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak
mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang
dibandingkan pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola,
manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi
akuntansi seperti laporan keuangan.
Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh
berbagai pihak, termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling
berkepentingan dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna
eksternal (diluar manajemen). Laporan keuangan tersebut penting bagi para
pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi
yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002). Para pengguna internal (para
manajemen) memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan
mengetahui peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat
ketergantungannya terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna
eksternal.
Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang
disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Yaitu suatu kondisi
di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen
sebagai penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan
stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).
Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri
informasi yaitu:
- Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
- Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya
konflik yang terjadi antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfatkan
pihak lain untuk kepentingan sendiri. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga
asumsi sifat dasar manusia yaitu: (1) manusia pada umunya mementingkan diri
sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai
persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia
tersebut menyebabkan bahwa informasi yang dihasilkan manusia untuk manusia lain
selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya informasi
yang disampaikan.
Manajemen Laba
Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba
sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan
keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi.
Fischer dan Rosenzweig (1995) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan
seorang manajer dengan menyajikan laporan yang menaikan (menurunkan) laba
periode berjalan dari unit usaha yang menjadi tanggungjawabnya, tanpa
menimbulkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam
jangka panjang. Sedangkan menurut Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba
terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan
keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan
untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders
tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian
(kontrak) yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi
manajemen laba mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba
terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment,
misalnya judgment yang dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi
di masa depan untuk ditunjukan dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur
ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang
ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Disamping itu manajer
memiliki pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode
biaya. Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai
kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses
terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar.
Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya
manajemen laba. Teori akuntansi positif (Positif Accounting Theory) mengusulkan
tiga hipotesis motivasi manajemen laba, yaitu: (1) hipotesis program bonus (the
bonus plan hypotesis), (2) hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant
hypotesis), dan (3) hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis)
(Watts dan Zimmerman, 1986).
Motivasi kontrak muncul karena perjanjian antara
manajer dan pemilik perusahaan berbasis pada kompensasi manajerial dan
perjanjian hutang (debt covenant). Semakin tinggi rasio hutang/ekuitas suatu
perusahaan, yang ekuivalen dengan semakin dekatnya (yaitu semakin ketat)
perusahaan terhadap kendala-kendala dalam perjanjian hutang dan semakin besar
probabilitas pelanggaran perjanjian, semakin mungkin manajer untuk menggunakan
metode-metode akuntansi yang meningkatkan income (Belkaoui, 2000).
Motivasi bonus merupakan dorongan manajer perusahaan
dalam melaporkan laba yang diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung
atas dasar laba tersebut. Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin
menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income yang dilaporkan
pada periode berjalan. Alasanya adalah tindakan seperti itu mungkin akan
meningkatkan persentase nilai bonus jika tidak ada penyesuaian untuk metode
yang dipilih (Belkaoui, 2000). Penelitian Healy (1985) menggunakan pendekatan
program bonus manajemen, yaitu bahwa manajer akan memperoleh bonus secara
positif ketika laba berada di antara batas bawah (bogey) dan batas atas (cap).
Ketika laba berada di bawah bogey manajer tidak mendapatkan bonus, dan ketika
laba berada diatas cap manajer hanya mendapatkan bonus tetap.
Motivasi regulasi politik merupakan motivasi
manajemen dalam mensiasati berbagai regulasi pemerintah. Perusahaan yang
terbukti menjalankan praktik pelanggaran terhadap regulasi anti trust dan anti
monopoli, manajernya melakukan manipulasi laba dengan menurunkan laba yang
dilaporkan (Cahan, 1992; Jogiyanto dan Ainun, 1998). Perusahaan juga melakukan
manajemen laba untuk menurunkan laba dengan tujuan untuk mempengaruhi keputusan
pengadilan terhadap perusahaan yang mengalami damage award (Hall dan
Stammerjohan, 1997). Selain itu Income taxation juga merupakan motivasi dalam
manajemen laba (Lilis, 2001). Pemilihan metode akuntansi dalam pelaporan laba
akan memberikan hasil yang berbeda terhadap laba yang dipakai sebagai dasar
perhitungan pajak.
Sumber:
